Bagiku, objek
wisata yang sangat menarik untuk dikunjungi adalah museum. Mengapa? Karena satu
museum saja dapat menyimpan lebih dari satu kisah. Dan uniknya lagi, setiap
museum mempunyai keunikan - keunikan tersendiri. Salah satu tema museum yang
menjadi favoritku adalah yang bercerita tentang nenek moyangku, yaitu tentang
sejarah Kerajaan Mataram Kasultanan Yogyakarta. Menurutku, ada suatu
keunikan dalam tema tersebut yang membuat aku tertarik untuk mengetahui
kisahnya, dan yang terutama adalah kenyataan bahwa selama ini aku hanya
berkesempatan untuk mendengarkan kisah tentang mereka melalui Nenek dan Mama.
Menurut
informasi yang kudengar, ada sebuah museum di Yogyakarta yang mempunyai
jawaban atas semua pertanyaan dan rasa keingintahuanku. Museum itu terletak
di tengah hutan, jauh dari hiruk pikuk kota DIJ. Tepatnya di daerah Pakem,
Kaliurang, Yogyakarta Utara. Pada intinya, museum ini menceritakan sejarah
tentang Kerajaan Mataram hingga terpecah menjadi 4, 2 di Solo (Kasunanan dan
Mangkunegaran), serta 2 di Yogyakarta (Kasultanan dan Pakualaman). Karena
penasaran, pada liburan tahun 2011 lalu, aku dan keluarga menyempatkan diri
untuk mengunjungi museum tersebut.
Museum Ullen
Sentalu letaknya agak tersembunyi. Sulit sekali untuk ditemukan apabila tidak
ada petunjuk jalan. Aura mistis sudah tercium ketika sudah dekat dengan lokasi.
Dengan ditambah dengan kesejukan khas lereng gunung, lengkap sudah kriteria
tempat yang mampu membuat bulu kudukku berdiri. Oleh pendiri, museum ini
memang sengaja dibangun di lereng gunung. Salah satu alasannya adalah untuk
menambah aura mistis di lokasi, serta karena kepercayaan penduduk sekitar yang
beranggapan semakin tinggi suatu tempat semakin suci atau apalah, aku juga
tidak mengerti. Hahaha.
Dari luar,
museum ini lebih mirip dengan kastil-kastil Eropa, lengkap dengan tanaman
merambat yang ada di temboknya. Tentu saja dengan dikelilingi oleh pohon-pohon
besar yang seakan-akan menyembunyikan lokasi itu. Jujur saja, museum ini lebih
mirip dengan rumah hantu di taman hiburan, daripada sebuah bangunan yang
memamerkan barang-barang.
Masuk ke dalam
museum tersebut pun ada sesinya. Setiap sesi didampingi oleh seorang guide.
Guide itulah yang akan memandu pengunjung dan menceritakan setiap kisah yang
ada dalam setiap ruang / ekshibisi.
Pertama-tama, aku dan keluarga dipandu oleh guide kami untuk berjalan melewati sebuah taman
kecil, dan memasuki sebuah ruangan yang terletak lebih ke bawah. Jalan masuk ke
ruangan ini terlihat seperti gua, oleh karena itu ruangan ini disebut Gua Selo
Giri. Di dalam gua ini terdapat lukisan-lukisan yang menceritakan tentang kisah
hidup tokoh-tokoh di 4 keraton Jawa. Selain itu, kami juga dapat melihat
alat-alat musik tradisional Jawa serta silsilah keluarga kerajaan.
Setelah berpuas
melihat-lihat lukisan di dalam gua, guide mengajak kami untuk kembali ke atas,
menuju ke Kampung Kambang. Kampung Kambang merupakan area terapung yang
dikelilingi oleh air, dan terdiri dari 5 ruangan ekshibisi. Ruang pertama
disebut dengan Ruang Tineke. Ruang ini disebut demikian karena barang yang
diperlihatkan dalam ruangan ini adalah surat-surat Putri Tineke kepada
sahabatnya yang tinggal di Belanda. Surat-surat tersebut berisi tentang keluh
kesahnya ketika menjadi seorang putri.
Ruang ekshibisi
kedua di Kampung Kambang adalah Ruang Batik Vorstendland. Dari namanya saja
sudah terlihat jika ruangan ini mempunyai sedikit “bumbu-bumbu” dari Belanda.
Ruangan ini menampilkan kain asli Indonesia, kain batik. Namun, berbeda dengan
batik-batik yang biasa Santa Maria II pakai pada hari Sabtu, batik-batik ini dibuat
ketika Belanda masih menjajah Indonesia. Yang membuatku kagum adalah,
batik-batik dalam ruangan ini menyatukan budaya Indonesia dengan budaya dari
negeri luar, terutama dalam hal motifnya. Hasilnya pun indah, tidak kalah
dengan batik-batik asli buatan Indonesia.
Ruang ekshibisi
selanjutnya adalah Ruang Batik Pesisiran dan diikuti dengan Ruang Putri
Dambaan. Dalam ruang yang terakhir ini, kami sekeluarga diajak menyelami kisah
hidup seorang putri keraton Yogya nan cantik yang bernama Gusti Nurul
Koesoemawardhani. Beliau adalah seorang putri yang menentang keras poligami
dalam kehidupan kerajaan.
Setelah selesai
mengarungi Kampung Kambang, kami diajak duduk-duduk dan bersantai sejenak
sebelum melanjutkan tur. Kami dipersilahkan untuk mengisi angket pengunjung dan
meminum minuman khas kerajaan. Minuman yang berbahan dasar jahe itu konon dapat
menjaga agar kita tetap awet muda. Aku sendiri sih tidak merasakan dampak
setelah meminumnya. Kan aku masih muda. Hehehe.
Tur ini diakhiri
dengan kunjungan ke sebuah ruang yang penuh lukisan. Kata guide kami, ruang ini
disebut dengan Ruang Budaya. Ruangan ini menyimpan lukisan-lukisan serta patung
yang bercerita tentang budaya di kerajaan, hingga budaya masyarakat Jawa. sebut
saja, patung –patung penari Jawa klasik, lukisan pengantin Jawa, dan lukisan
lainnya. Dalam ruangan ini ada salah satu lukisan yang menurutku agak aneh.
Dalam lukisan itu terlihat ada sembilan orang penari, beserta satu sosok penari
yang agak... tembus pandang. Mengerikan bukan? Menurut guide kami, lukisan itu
bercerita tentang ritual Tari Bedaya Agung. Tarian ini biasa ditampilkan saat
hari raya, atau perayaan besar. Dalam tarian ini, memang hanya disiapkan
sembilan penari. Tetapi ada beberapa saksi mata yang melihat penari yang ada di
sana tidak hanya bersembilan, tapi bersepuluh! Konon, ritual ini adalah ritual
untuk memanggil Nyi Rara Kidul.
Museum ini dilengkapi
pula dengan beberapa restoran dan toko souvenir beserta sebuah taman untuk
pengunjung berjalan-jalan. Yah, lumayan kan, memanfaatkan udara sejuk sebentar
sebelum kembali ke hiruk pikuk kota?